Hadisini juga tidak mempunyai syahid, yaitu hadis lain serupa yang diriwayatkan oleh orang lain. Hanya Ahmad sendiri di antara ahli hadis sembilan yang meriwayatkannya dan dengan sanada gharib. Oleh sebab itu terdapat beberapa hal yang meragukan mengenai hadis ini, sehingga sulit untuk dikatakan sebagai hadis sahih, bahkan hadis hasan.

Hadits Dalam Ash-Shahihain Yang Manakah Yang Dihukumi Dengan Hukum “Shahih”? Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa imam al-Bukhari dan Muslimrahimahumullah tidaklah memasukkan ke dalam kitab Shahihnya kecuali hadits-hadits yang shahih saja dan bahwasanya umat Islam secara keseluruhan sepakat untuk menerima hadits-hadits tersebut. Namun hadits-hadits seperti apakah yang dihukumi dengan hal tersebut? Jawabnya adalah Bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya al-Bukhari dan Muslim dengan sanad yang bersambung, maka itulah yang dihukumi dengan hukum shahih. Adapun yang dihapus satu perawinya atau lebih di awal sanadnya -Yang dikenal dengan nama Mu’alaq, dan ia Mu’alaq banyak terdapat di Shahih al-Bukhari, namun hanya ada di judul bab dan Muqaddmah pembukaan saja, tidak ada sedikitpun di inti bab. Adapun dalam Shahih Muslim, maka hanya ada satu hadits, yaitu yang ada di bab Tayammum dan tidak diriwayatkan dengan sanad bersambung di tempat lain,-, maka hukumnya sebagai berikut Pertama Yang diriwayatkan dengan redaksi jazm kata kerja aktif, seperti قَالَ dia mengatakan, أَمَرَ dia memerintahkan dan ذَكَرَ dia menyebutkan, maka sanad tersebut dinyatakan shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. Kedua Yang diriwayatkan dengan redaksi tidak jazm kata kerja pasif, seperti قِيلَdikatakan, أمِرَ diperintahkan dan ذُكِرَ disebut kan, maka ia tida bisa hukumi shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. Namun demikian tidak ada status hadits Wahin sangat lemah dalam hadits-hadits tersebut, dikarenakan keberadaannya di kitab yang dinamai oleh penulisnya al-Bukhari dan Muslim “ash-Shahih.” Apa Tingkatan-tingkatan Hadits Shahih? Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa sebagian ulama menyebutkan sanad yang paling shahih yang ada pada mereka. Maka berdasarkan pada hal itu, dan pada keberadaan syarat-syarat yang lain dari hadits Shahih, maka kita dapat mengatakan bahwa hadits Shahih memiliki tingkatan. Pertama Yang paling tinggi adalah apa yang diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih,seperti raiwayat dengan sanad dari Malik, dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma. Kedua Yang di bawah tingkatan itu adalah yang diriwayatkan dari jalur para perawi yang mereka lebih rendah kedudukannya dibandingkan para perawio yang pertama. Seperti riwayat Hammad bin Salamah rahimahullah dan Tsabit rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu. Ketiga Yang lebih rendah tingkatannya dari itu adalah apa yang diriwayatkan oleh para perawi yang pada dirinya terdapat sifat tsiqah yang paling rendah tingkatannya. Seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih rahimahullah dari bapaknya rahimahullah dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Dan digabungkan dengan perincian di atas pembagian hadits shahih menjadi tujuh tingkatan, yaitu 1. Pertama Yang disepakati keshahihannya oleh imam al-Bukhari dan Muslimrahimahumallah, dan ini adalah tingkatan yang paling tinggi. 2. Kedua Yang diriwayatkan sendirian oleh imam al-Bukhari rahimahullah. 3. Ketiga Yang diriwayatkan sendirian oleh imam Muslim rahimahullah 4. Keempat Yang sesuai dengan syarat keduanya syarat al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitab mereka berdua. 5. Kelima Yang sesuai dengan syarat al-Bukhari rahimahullah, namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya 6. Keenam Yang sesuai dengan syarat Muslim rahimahullah , namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya 7. Ketujuh Hadits shahih yang ada pada kitab selain keduanya dari kalangan para Imam ahl hadits seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban rahimahumallah dari hadits-hadits yang tidak sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim. Apa Yang Dimaksud Syarat Syaikhain Syarat al-Bukhari dan Muslim? Asy-Syaikhani/Asy-Syaikhain al-Bukhari dan Muslim keduanya tidak menyatakan secara tegas gamblang tentang syarat yang keduanya persyaratkan atau yang keduanya tetapkan sebagai tambahan dari syarat-syarat yang telah disepakati dalam hadits shahih. Namun dari penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh para peneliti dan pengkaji dari kalangan ulama terhadap uslub metode keduanya, nampak mereka bagi sesuatu, yang masing-masing dari mereka mengira bahwa itu adalah syarat keduanya atau syarat salah satu dari keduanya. Dan perkataan yang paling baik dalam masalah ini adalah”Bahwasanya yang dimaksud dengan syarat Syaikhain atau salah satu dari keduanya adalah, bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari jalur para perawi yang ada di kedua kitab tersebut Shahih al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya, dengan tetap memperhatikan kepada cara/metode yang dipegang teguh oleh keduanya dalam meriwayatkan hadits dari mereka.” Apa Makna Ucapan Para Ulama “Muttafaqun Alaihi”? Apabila para ulama hadits berkata tentang sebuah hadits” Muttafaqun Alaihi”, maka maksud mereka adalah kesepakatan asy-Syaikhain, yakin sepakatnya Syaikhain tentang shahihnya hadits tersebut, bukan kesepakatan seluruh ummat. Hanya saja Ibnu Shalah rahimahullah berkata”Akan tetapi kesepakatan ummat terhadapnya hadits itu adalah sesuatu yang sudah menjadi keniscayaan dari hal itu, dan menjadi kesimpulan dari perkataan itu, dikarenakan kesepakatan mereka ummat untuk menerima hadits-hadits yang disepakati shahih oleh keduanya” Apakah Hadits Shahih Diharuskan Berasal Dari Haidts Aziz Yang benar adalah bahwa tidak dipersyaratkan dalam hadits Shahih statusnya sebagai hadits Aziz hadits yang diriwayatkan oleh minimal dua orang perawi dalam tiap-tiap thabaqat sanad, artinya hendaknya hadits itu memiliki dua sanad. Hal ini karena ada di dalam -Shahihain dan kitab-kitab hadits-hadits yang shahih namun ia Gharib hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi dalam salah satu thabaqat sanadnya. Dan sebagian ulama mengira hal itu mengira bahwa syarat hadits shahih adalah harus berstatus Aziz, seperti Abu Ali al-Jubba’i al-Mu’tazili, dan Imam al-Hakim. Dan perkataan mereka ini menyelishi kesepakatan ummat. Sumber تيسير مصطلح الحديث karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, dengan sedikit tambahan. Maktabah Ma’arif, Riyadh, halaman 42-44. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono Adalah Sahabat, Tanggapan atas Artikel Jalaluddin Rakhmat: Sahabat dalam Timbangan Al-Qur`an Abdul Hayyie al Kattani Pendahuluan Di Faceb

Banyak orang yang belum bisa membedakan antara hadits dhaif yang berarti lemah dengan hadist maudhu yang berarti palsu. Padahal hadits dhaif itu sangat beragam modelnya. Suatu hadits dinilai dhaif karena tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya. Imam Al-Baiquni Umar bin Muhammad w. 1080 H dalam kitab Mandzumat al-Baiquniyyah meyebutkan وكل ما رتبة الحسن. فهو الضعيف وهو أقساما كثر Semua hadits yang tidak sampai level hasan, maka disebut hadits dhaif. Macam hadits dhaif ada banyak Paling tidak ada 5 syarat hadits disebut shahih, sebagiamana disampaikan oleh para ulama. Jika ditanya, apakah dahulu ketika Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam selesai menyampaikan suatu Hadits, beliau berujar “Hadits ini shahih, atau Hadits ini dhaif?” Tentu saja tidak Apakah dahulu para shahabat Nabi sudah menerapkan sistematika yang terstruktur dengan baik dalam menerima suatu Hadits? Harus tersambung sanadnya, adil dan dhabith rawinya misalnya? Tentu saja belum. Lalu darimana kita dapati lima syarat-syarat diterimanya suatu hadits yang kita kenal saat ini? Jawabannya adalah dari ijtihad para ulama. Untuk apakah Ijtihad itu dilakukan? Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin as-Suyuthi w. 911 H dalam kitab Tadrib ar-Rawi fi Syarhi Taqrib an-Nawawi w. 911 H menyebutkan bahwa tujuan dari itu semua tidak lain adalah untuk mengetahui suatu hadits shahih yang benar-benar berasal dari Nabi yang nantinya bisa dijadikan hujjah Para ulama telah berusaha membuktikan otentisitas hadits; baik secara ekstern yang menyangkut sanad Hadits, maupun secara intern yang menyangkut matan Hadits. Berdasarkan kajian tersebut, secara gradual tersusunlah kerangka epistemologi untuk menentukan otentisitas sebuah hadits. Itulah yang nantinya disebut sebagai syarat-syarat ke-shahih-an Hadits. Hadits shahih merupakan salah satu modal dasar penetapan hukum syariat. Tak jarang, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum syariat, karena perbedaan mereka dalam menilai derajat suatu hadits. Suatu hadits dinilai dhaif karena tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya. Ada dua kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu jalur periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits itu. Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi sanad adalah kelemahan dalam jalur periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya, ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan, dengan berbagai sebab. Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi kekosongan satu atau beberapa perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi tidak tersambung dengan benar. Dan para ulama membagi lagi kelemahan jalur periwayatan itu menjadi beberapa jenis, antara lain hadits muallaq معلّق, mursal مرسل, mu’dhal معضل, munqathi’ منقطع, mudallas مدلّس, mursal khafi مرسلْ خافي, mu’an-an معنعن dan muannan معنّن Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya. Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari sisi personal para perawinya. Para ulama menyusun daftar hadits yang tertolak karena faktor lemahnya kualitas perawi, di antaranya adalah hadits maudhu, matruk, munkar, ma’ruf, mu’allal, mukhalif li-tsiqah, mudraj, mudhtharib, mushahhaf, syadz, jahalah, mubtadi, su’ul hifdz

Di dalam kubur akan ditanyakan siapa Rabbmu, apa agamamu, dan siapa nabimu." (HR. Tirmidzi, no. 3120. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Hadits ini dikeluarkan pula oleh Bukhari, no. 1369 dan Muslim, no. 2871) Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Soal dan Jawaban Hadis Postingan ini ditujukkan untuk memenuhi UTS Ulumul Hadis tentang struktur hadis, hadis kodifikasi dan hadis pra-kodifikasi. 2. Jelaskan Pengertian sanad, matan dan rawi dari berbagai ulama atau penulis ilmu hadist. Pengertian Sanad Menurut bahasa sanad adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Dikatakan demikian karena Hadits bersandar kepadanya. Menurut istilah sanad ialah menerangkan sanad hadits jalan menerima hadits. Maka arti ”saya isnad-kan hadits” adalah saya sebutkan sanadnya, saya terangkan jalan datangnya, atau jalan sampainya kepada saya. Ada yang berbeda pendapata mengenai pengertian sanad menurut istilah, seperti berikut ini Menurut istilah al-Badr bin Jamaah dan At-Tibby, menyatakan bahwa sanad adalah pemberitaan tentang munculnya suatu matan Hadits. سلسلة الرواة الذين نقلو المتن عن مصدره الاول Artinya “silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama. “Orang yang menerangkan hadits dengan menyebut sanadnya, disebut musnid. Hadits yang disebut dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada nabi . Dinamai musnad”[1] Pengertian Rawi Rawi menurut bahasa, adalah orang yang meriwayatkan hadits dan semacamnya. Sedangkan menurut istilah rawi adalah seseorang yang menyampaikan atau menuliskan dalam sebuah kitab apa yang diterimanya dari seorang guru. Atau lebih singkatnya adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan Hadits. Pengertian Matan Menurut bahasa matan berarti punggung jalan atau tanah yang kerasdan tinggi. Jamak matn adalah dimaksud matn dalam ilmu hadits ialah ma yantahiy ilayhi as-sanad min al-kalam, yakni sabda nabi yang disebut setelah sanad, atau penghubung sanad, atau materi hadits. Secara istilah Matan ialah سلسلة الرواة الذين نقلو المتن عن مصدره الاول Artinya “silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama[4] .Sedangkan menurut istilah menurut Mahmud Tahhan adalah “suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”, ada juga yang menyebutkan bahwa matan adalah lafazh-lafazh hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu 4. Jelaskan Keadaan Hadis Pada Masa Sebelum DibukukanJawaban Hadis Pada Masa Rasul SAW Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabdaaqwal, af’al, dan takrir nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakkan syariat islam dan membentuk masyarakat islam. 1 Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadis Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majelis al-ilmi melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh nabi SAW. Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologitertuma yang menyangkut hubungan suami istri, ia sampaikan melalui istri-istrinya. Cara lain yang dilakukan, Rasul SAW adalah melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada, dan futu makkah. 2 Perbedaan Sahabat Dalam Menguasai Hadis Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung pada beberapa hal, yaitu Perbedaan mereka dalam soal kesempatan berasama Rasul SAW Perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya pada sahabat lain. Perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW. Pemeliharaan Hadis dalam Hafalan dan Tulisan a. Aktifitas Menghafal Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemashlahatan Al-Qur’an dan hadis, sebagai dua sumber ajaran islam Rasulullah SAW mengambil kebijaksanaan yang berbeda. Terhadap Al-Qur’an, beliau secara resmi memberi instruksi kepada sahabat tertentu supaya menulis, disamping menghapalnya, sedangkan terhadap perintah resmi itu hanya untuk menghafal dan menyampaikannya pada orang lain. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda لَا تَكْتُبُوْا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَالْقُرآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوْا عَنِّي وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ رواه مسلم “Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima darik Al-Qur’an u, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motifasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak praislam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya. Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain. Dengan demikian maka hadis-hadis yang diterima dari Rasulullah SAW oleh para sahabat dihapal secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Mencatat atau Menulis Hadis Secara resmi memang nabi melarang menulis hadis bagi umum, karena khawatir tercampur antara hadis dan Al-Qur’an. Banyak hadis yang melarang sahabat untuk menulisnya, diantaranya yaitu عَنْ اَبِي سَعِيْدُ الْخُدْرِي اَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَكْتُبُوْاعَنِّى، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَالْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ رواه مسلم “Diriwiyatkan dari Abu Sa’id Al-Kudri. Bahwa Rasulullah bersabda Janganlah engkau tulis daripadaku, barangsiapa menulis daripadaku selain Al-Qur’an maka hapuslah.” Tetapi hadis yang mempebolehkan penulisan sunah atau hadis juga banyak sekali, diantaranya yaitu اِسْتَعِنْ عَلَى حِفْظَكَ بِيَمِيْنِكَ رواه اتّرميذى “Bantulah hafalanmu dengan tanganmu.” Tirmidzi Berikut beberapa sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis Abdullah ibn Amr Al-Ash, Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari, Abu Hurairah Al-Dausi, Abu Syah Umar ibn Sa’ad Al-Anmari Hadis pada Masa Sahabat Pada masa ini disebut masa membatasi dan menyedikitkan riwayatkan, karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an. Oleh karena itu periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Hal ini disebabkan karena banyak problem yang dihadapi diantaranya timbulnya orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur juga kondisi orang-orang asing atau non Arab yang masuk islam dan tidak paham bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan hadis. Secara umum dapat dikemukakan ada point penting tentang metode sahabat dalam memelihara kemurnnian sunah atau hadis Nabi SAW. Menyedikitkan riwayat Berhati-hati dalam meriwayatkan hadis Pelarangan periwayatan hadis yang belum dipahami umum Periwayatan hadis dengan lafad dan makna Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis yakni Periwayatan lafdzidengan lafad asli yakni menurut lafad yang mereka terima dari nabi SAW yang mereka hafal dari Nabi. Periwayatan maknawi dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya saja karena tidak hafal lafad asli dari Nabi SAW C. Keadaan Hadis Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin Periode ini merupakan masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis, hal ini karena pada masa ini daerah islam sudah meluas yakni sampai ke negeri syam, Irak, Mesir, Samarkandi, bahkan pada tahun 93H meluas sampai ke Spanyol. Pada periode ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab hal ini setelah wafatnya sahabat Ali RA, umat islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan yakni golongan syiah, golongan khawrij, dan golongan jumhurgolongan pemerintah pada masa itu. Pembinaan Hadis Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut, ialah Madinah Al-Munawarah, Makkah Al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, Andalus, Yaman, dan Khurasan. Dari sejumlah sahabat para sahabat pembinaan hadis pada kota-kota tersebut ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis cukup banyak antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Annas ibn Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah, dan Abi Said Al-Khudri. Politik dan Pemalsuan Hadis Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat islam ke dalam beberapa kelompok khwarij, syi’ah, mu’awiyah dan golongan mayoritas yang netral. Dari pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu maudhu’ untuk mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan hadis, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut. 6. Pembahasan Hadis Dibagi 2 Bagian Besar, Yaitu Secara Kuantitas Dan Kualitas Perawinya. Jawaban Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya 1. Hadits Mutawatir Secara etimologis, lafadz Mutawatir dapat berarti Mutatabi, yaitu sesuatu yang datang berikut dengan kita, atau yang beriring-iringan antara satu dengan yang lainnya dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan secara terminologis, hadits mutawatir dapat di definisikan sebagai “hadts yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, hal itu seimbang dari permulaan sanad hingga akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan pada setiap tingkatan tabaqat.” Syarat-syarat hadits mutawatir Diriwayatkan oleh banyak perawi Adanya keyakinan bahwa mereka tidak berdusta Adanya keseimbangan antar perawi Berdasarkan tanggapan panca indra Pembagian hadits mutawatir Hadits Mutawatir Lafdzi hadits yang mutawatir baik lafadz maupun maknanya Hadits Mutawatir Ma’nawi hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafadz nya tidak Hadits Mutawatir Amali Sesuatu yang diketahiu dengan mudah, bahwa dia termasuk urutan agama dan telah mutawatir antara umat islam, bahwa Nabi SAW. Mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu. Faedah hadits mutawatir, hadits mutawatir dapat memberikan faedah ilmu dharuri. Yakni, suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkan isinya sesuai dengan yang diberitakan, sehingga membawa kepada keyakinan yang qat’I pasti. Ahad Secara etimologis, al-ahad jama’ dari ahad, yang berarti 1. Dengan demikian khobar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang saja. Secara terminologis, menurut Mahmud al-Thahhan hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Sedangkan menurut Hasbi al-Shiddiqi, hadis ahad adalah khobar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai ke jumlah perawi hadis mutawatir. Pembagian Hadis Ahad Masyhur Secara bahasa, kata “masyhur” adalah isim maf’ul dari kata “syahara”. Sedangkan secara istilah, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. - Masyhur Ishthilahi مَارَوَاهُ ثَلاَثَةٌ فَاَكْثَرُفِي كُلِّ طَبَقَاتِ السَّنَدِ مَالَمْ يَبْلُغْ حَدَّ التَّوَاتُرِ “Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan thabaqah pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.” - Masyhur Ghayr Ishthilahi مَا اشْتُهِرَ عَلَى الْاَلْسِنَةِ مِنْ غَيْرِ شُرُوْطٍ تُعْتَبَر “Hadits yang populer pada ungkapan lisan para ulama tanpa ada persyaratan yang definitif”. b. Hadits Aziz Secara etimologis Aziz berasal dari Izza ya izzu yang berarti qalla sedikit atau nadara jarang terjadi sedangkan secara terminologis hadits aziz adalah yang di riwayatkan oleh dua orang rawi atau lebih dalam satu thabakotnya. هُوَالَّذِى يَكُوْنُ فِى طَبَقَةِ مِنْ طَبَقَا تِ سَنَدِهِ رَوِايَانِ فَقَطُّ “Yaitu hadis yang satu tingkatan thabaqah dari beberapa tingkat sanadnya terdapat dua orang perawi.” c. Hadits Ghorib Secara etimologis Ghorib berasal dari kata Gharaba, yaghribu yang berarti al-munfharid yaitu menyendiri atau ba’id an wathani, jauh dari tanah airnya sedangkan secara terminologis Nur al-din itr hadits ghorib adalah hadist yang di riwayatkan oleh seorang pearwi yang menyendiri dalam meriwayatkannya baik yang menyendiri itu Imamnya maupun selainnya. Muthlaq Hadist yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadist itu berpangkal pada tempat ahlus sanat yakni tabiin bukan sahabat. Nisby Penyendirian mengenai sifat atau keadaan tertentu seorang rawi antara lain yaitu keadilan dan kedhobitan rawi, kota atau tempat tinggal tertentu, meriwayatkan dari orang tertentu. Gharabah nisbi terbagi menjadi 3 macam, yaitu sebagai berikut - Muqayyad bi ats-tsiqah - Muqayyad bi al-balad - Muqayyad ala ar-rawi Dari Segi Kualitasnya Shahih Secara etimologis shahih merupakan lawan dari saqim yang berarti “sakit”. Menurut pengertian kebahasaan hadits shahih secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “hadits yang tidak sakit atau tidak memiliki cacat”. Artinya hadits itu sah, benar, dan sempurna. Secara terminologis hadits shahih dapat di definisikan sebagai “ hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.” Syarat-syarat hadits sahih Sanadnya bersambung Perawinya bersifat adil Perawinya bersifat dhabith Tidak syadz janggal Tidak ber’illat Gair Mu’allal Pembagian hadits Shahih a. Hadis Shahih Li Dzatihi Hadis shahih li Dzatihi adalah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria ke shahihan sebagaimana yang disebutkan, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya. Ini berarti bahwa Hadis shahih li Dzatihi, adalah hadis shahih sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian shahih diatas. b. Hadis Shahih Li Ghairi Hadis Shahih Li Ghairi adalah hadis hasan li Dzatihi apabila diriwayatkan melalu jalan oleh perawi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya. Kehujjahan hadis shahih, para ulama ahli hadis dan sebagian ulama dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqih sepakat menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah. Tingkatan hadis shahih pertama, ashah al-asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah tingkat pertama diatas, seperti yang diriwayatkan oleh Hamad bin Salmah dari Sabit dari Anas. Ketiga, ad’af al-asanid, yakni rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dair tingkatan kedua, seperti hadis riwayat Suhail Bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah. 2. Hadis Hasan Secara bahasa berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikannya. Imam Al-Turmudzimendifinisikan hadis hasan sebagai “setiap hadis yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanadnya perawi yang pendusta, dan hadis tersebut tidak Syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain. Perbedaan prinsip antara hadis sahih dan hasan terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis shaih perawinya sempurna dhabitnya, sedangkan pada hadis hasan, kedabitan perawinya kurang sempurna. Kriteria hadis hasan ada lima, yaitu Sanadnya bersambung Perawinya adil Perawinya dhabith, tetapi ke-dhabith-annya di bawah ke-dhabith-an perawi hadis shahih Tidak terdapat kejanggalan atau syadz Tidak berilat Kehujjahan hadis hasan, hadis hasan sebagai halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuquha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan. 3. Hadis Dha’if Secara etimologis, term dha’f berasala dari kata dhuf’un yang berarti “lemah”, lawan dari term al-qawy yang berari kuat dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat. a. Pembagian hadis dha’if ditinjau dari segi persambungan sanad Hadis Marshal, menurut bahasa yang dilepaskan isim maf’ul. Sedangkan istilah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin kecil. Hadis Munqati’ Hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut. Hadis Mui’dhal secara bahas adalah sesuatu yang dibuat lemah atau lebih. Sedangkan menurut istilah hadis yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan Hadis Mu’allaq menurut bahasa terikat dan tergantung isim maf’ul. Sedangkan menurutistilah hadis seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan. Hadis Mudallas Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkiraan bahwa hadits itu tidak bernoda b. Pembagian hadis dha’if ditinjau dari segi sandarannya Hadis Mauquf Hadis Maqtu’ c. Pembagian hadis dha’if ditinjau dari segi cacatnya perawi 1 Hadis Matruk 2 Hadis Munkar 3 Hadis Mu’allal 4 Hadis Mudraj 5 Hadis Maqlub 6 Hadis Mudhtharib 7 Hadis Mushahhaf DAFTAR PUSTAKA 1. Prof, Dr, Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Yogyakarta PT, Pustaka Rizki Putra, 1999. 2. Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta PT. Raja Grapindo Persada, 2011 3. Drs. M. Solahudin, & Agus suyadi, Lc. Ulumul Hadis, Bandung CV. Pustaka Setia, 2013 4. Dr. H. Wasman & Abdul Fatakh, SHI, SH, M. Hum, Pengantar Studi Hadits, Cirebon Dicetak Mandiri, 2015 5. Drs. M. Syuhudi Ismail , Pengantar Ilmu Hadits , Bandung Angkasa 6. DR. HJ. Umi Sumbulah, M. AG, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang UIN-MALIKI PRESS Anggota IKAPI 7. Prof. DR. T. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang PT. Pustaka Rizki Putra 8. Dr. H. Wasman & Abdul Fatakh, SHI, SH, M. Hum, Pengantar Studi Hadits, Cirebon Dicetak Mandiri, 2016 9. Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta PT. Raja Grapindo Persada, 2013 10. Dr. Nur Muuddin ltr, Ulumul Hadis, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 2012 11. Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandung CV. Penerbit Diponegoro , 2007 12. Prof. Ali Hasbullah, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Jakarta Gema Insani Press, 1999 13. Drs. Badri Khaeruman, M. Ag. Otentisitas Hadis, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 2004 14. Drs. M. Aggus Solahdin, & Agus Suryadi, Lc. Ulumul Hadis, Bandung Pustaka Setia, 2009 15. Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta Amzah Bumi Aksara, 2010 16. Drs. Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, Bogor Ghalia Indonesia, 2010 Drs. Munzier Suparta, Drs. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1993 Dalampengelompokan hadits berdasarkan jumlah perawi pada tiap tingkatannya, terkhusus definisi aziz dan masyhur, ada perbedaan pendapat Ulama, yaitu : Pendapat Pertama: Aziz adalah tiap tingkatan jumlah perawinya minimal 2 atau 3. Sedangkan Masyhur adalah tiap tingkatan jumlah perawinya lebih dari 3 namun belum sampai derajat mutawatir.
JAKARTA - Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa`id dan Abu Hurairah mengatakan "Tidaklah keletihan, penyakit, kegelisahan, kesedihan, sakit hati, dan kesusahan yang menimpa seorang muslim, sekalipun tusukan duri yang diterimanya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dosanya dengan itu” HR Bukhari dan Muslim.Dunia ini tidak lebih dari sebuah ujian di mana semua manusia pasti akan menghadapi beberapa kesulitan dan tantangan yang mengungkapkan kesabaran dan keteguhan mereka. Bentuk ujian ini banyak dan beragam, ada orang yang menderita kemiskinan, ada yang menderita penyakit fisik, ada yang hidup dalam keadaan tidak aman, ada yang kehilangan orang yang mereka sayangi dan cintai, dan ada pula yang menderita gangguan kejiwaan. Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 155-157 pun disebutkan, وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَKami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah wahai Nabi Muhammad, kabar gembira kepada orang-orang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn” sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali. Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat ayat diatas Allah berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2,الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُYaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha kesulitan tidak dapat dihindari, Islam tidak membiarkannya berlalu begitu saja tanpa bimbingan yang tepat tentang sikap yang paling tepat. Hadits di atas mengungkapkan salah satu dimensi resep Islam untuk berhasil menghadapi tantangan menyeimbangkan efek negatif yang ditimbulkan oleh penderitaan, Islam mengajarkan kita tentang hikmah dibalik penderitaan. Masalah berfungsi sebagai sarana untuk menebus dosa dan mengangkat derajat orang beriman di optimis dan positif ini melindungi seseorang dari keputusasaan dan kesedihan. Di sini, tepat untuk mengutip beberapa hadits Nabi yang menekankan konsep ini,Abu Yahya Suhaib bin Sinan menceritakan bahwa Rasulullah mengatakan "Betapa indahnya seorang beriman; ada kebaikan baginya dalam segala hal dan ini hanya berlaku bagi seorang mukmin. Jika kemakmuran menyertainya, dia bersyukur kepada Allah dan itu baik baginya; dan jika kesulitan menimpanya, dia menanggungnya dengan sabar dan itu baik baginya” Muslim.Dalam hadits lain Abu Hurairah menyebutkan Rasulullah berkata, "Barangsiapa yang Allah kehendaki baik, Dia membuatnya menderita beberapa penderitaan" Al-Bukhari.Abu Hurairah menyebutkan bahwa seorang muslim, pria atau wanita, terus berada di bawah ujian dalam hal kehidupan, harta, dan keturunannya sampai dia menghadap Allah Yang Maha Tinggi, tanpa catatan dosa” At-Tirmidzi.Hadits di atas tidak boleh disalahartikan sebagai ajakan untuk berputus asa. Pesan yang disampaikan hadits adalah bahwa setiap muslim harus mengharapkan kesulitan dan bersiap untuk menghadapinya. Karena itu, orang beriman menghadapi kesulitan dengan hati yang berani, mereka mempercayai kebijaksanaan Allah dan percaya pada rahmat-Nya dan mereka tahu bahwa ujian ini bermanfaat. Bandingkan sikap itu dengan perasaan bahwa seseorang sendirian di dunia ini, menghadapi tantangan beratnya yang terisolasi dari sumber dukungan atau bantuan apa pun. Jadi, hadis-hadis ini dimaksudkan untuk menanamkan harapan dan semangat kepada Muslim dan mengusir pikiran-pikiran tentang kegagalan dan keputusasaan. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang mereka, kita harus mempertimbangkannya berdasarkan hadits berikut,Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan keduanya apa yang bermanfaat dan teruslah meminta pertolongan Allah dan jangan Anda menderita dengan cara apa pun, jangan katakan 'Jika saya mengambil langkah ini atau itu, itu akan menghasilkan ini dan itu,' tetapi katakan saja 'Allah telah menentukan dan melakukan apa yang Dia kehendaki.' Kata 'jika' membuka gerbang setan pikiran” Muslim.Hadits ini sejalan dengan peringatan Nabi kepada sepupunya Ibn `Abbas ra dengan dia bahwa dengan kesabaran datang kemenangan, dengan kesusahan datang kemudahan, dan dengan kesulitan datang hal ini, satu ide bisa menjadi sumber kekhawatiran dan gangguan. Bagaimana kita bisa mendekati penderitaan dengan optimisme seperti itu ketika itu adalah tanda yang jelas dari murka Allah dan manifestasi dari hukuman-Nya? Bukankah Allah berfirman, dalam AsybSyura ayat 30وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍMusibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak kesalahanmu.Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui banyak orang, terutama yang sedang berlatih, ketika mereka ditimpa musibah, kehilangan orang yang disayang, atau dijangkiti penyakit. Masalahnya, dalam banyak kasus, pikiran ini menjadi sumber frustrasi dan menjadi pendorong untuk bertobat dan mendekatkan diri kepada-Nya, gagasan itu kadang-kadang menjadi faktor yang melemahkan semangat. Nah, mari kita lihat bagaimana para Sahabat memandang ayat di atas dan bagaimana mereka menyikapinya secara positif dan komentarnya tentang ayat di atas, Imam Al-Qurtubi menjelaskan ayat ini adalah yang paling membangkitkan harapan di dalam Al Quran, jika dosa-dosa saya ditebus melalui penderitaan dan bencana, dan di atas itu, Allah akan mengampuni banyak dosa lainnya, lalu apa yang tersisa setelah penebusan dan pengampunan tersebut?”Benar, malapetaka hidup membuat hati hancur dan orang-orang terkasih kehilangan, tetapi orang percaya yang cerdas tahu bagaimana mengubahnya menjadi sumber tekad dan sumber hadits shahih yang indah di mana Nabi memberi tahu kita bahwa orang-orang yang menghadapi cobaan terberat adalah para nabi, kemudian orang-orang di sisi mereka dan lalu selanjutnya. Setiap orang akan diuji menurut kadar keimanannya, orang yang memiliki iman yang kuat akan mengalami cobaan yang keras dan orang yang imannya lemah akan menerima cobaan yang lemah. Dan kesengsaraan itu akan meliputi seseorang sampai dia bebas dari dosa sama sekali.
Setidaknyaada lima makna pertanyaan. Pertama, ingin tahu. Bertanya, karena ingin tahu sesuatu atau fenomena adalah awal mula ilmu pengetahuan. Orang yang bertanya bukan bodoh, melainkan orang yang tahu kalau dia tidak tahu (rajulun yadri annahu laa yadri). Ada ungkapan, assuaalu nishful jawabun (pertanyaan separuh dari jawaban). Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada junjungan kita, baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta ahlul bait-nya, para shahabat Salaffus Shalih, para tabi'in, tabi'ut tabi'in serta seluruh umat Islam yang setia dan menegakkan ajaran-risalah beliau hingga akhir zaman. Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu hadits, yang kiranya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan dan kami kemas dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk dipahami. TANYA Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits? JAWAB Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia, karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera kegelapan. Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari mereka selain Abu Hanifah dikenal sebagai ahli hadits. Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak hadits. Imam asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak berisi hadits-hadits yang beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya, demikian juga dengan bukunya yang terkenal ar-Risalah. Bahkan salah seorang muridnya mengarang Musnad Imam asy-Syafi’i yang diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau di dalam kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Musnad asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan. Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits dan justeru tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam masalah fiqih. Hanya saja perlu diketahui, bahwa beliau juga terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau melarang para muridnya menulis sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata dan menganjurkan mereka menulis hadits. TANYA Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” [Fulan telah menceritakan kepada kami] dan “Akhbarana” [Fulan telah memberitahukan kepada kami]? JAWAB Di dalam tata cara Talaqqi mentransfer, menerima hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh Guru dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab tulisan-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural jamak, yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi sendirian dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian. Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh dengan metode Qiraa`ah, seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia si murid membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-Ardh” pemaparan dan “Qiraa`ah Ala asy-Syaikh” membaca kepada Syaikh. Mereka para ulama hadits mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan meriwayatkan hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima Mentransfer hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut. Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits mengatakan bahwa keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh atau Syaikh sendiri yang membacakannya, semua itu sama saja. Akan tetapi Imam Muslim Rahimahullah tidak menilai hal itu sama saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu, dalam banyak haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau selalu mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, Akhbarana” [Si fulan menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan, telah memberitahu kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya. SUMBER Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin Abdullah al-Humaid, TANYA Dari aspek keshahihan, mana yang diunggulkan; Sunan Abi Daud atau kah Sunan an-Nasa`iy? JAWAB Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy dengan maksud ia adalah as-Sunan al-Kubra, maka Sunan Abi Daud lebih shahih daripadanya. Sedangkan bila yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy di sini adalah kitab al-Mujtaba, di sini perlu didiskusikan kembali pendapat tadi. Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy, maka akan jelas bagi kita bahwa ia Sunan an-Nasa`iy yang dinamakan dengan al-Mujtaba sekarang ini –yang nampak bagi saya- bukanlah karangan Imam an-Nasa`iy sendiri. Ia merupakan karangan Ibn as-Sunny yang tidak lain adalah salah seorang periwayat kitab Sunan an-Nasa`iy. Secara umum, yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy adalah as-Sunan al-Kubra. Karena itu, sebagian orang dari satu sisi, menilai sisi kebagusan hadits-haditsnya atau membuang hadits-hadits Mawdlu’ palsu dan Munkar yang ada pada Sunan an-Nasa`iy yang disebut al-Mujtaba alias as-Sunan ash-Shughra sebagaimana yang dikatakan sebagian orang, karena mengira ia merupakan karangan Imam an-Nasa`iy. Yang menjadi indikasi untuk semua itu, bahwa kitab al-Mujtaba artinya, ringkasan, intisari-red., dari sisi hadits-haditsnya memang lebih bagus mengesankan daripada as-Sunan al-Kubra akan tetapi apakah benar Imam an-Nasa`iy yang meringkas/mengintisarinya dari hadits-hadits tersebut sehingga dinamai al-Mujtaba-red., atau orang selain dia?. Hal ini akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Allah. Yang jelas, bila kita membanding-bandingkan antara al-Mujtaba dan Sunan Abi Daud, maka pembandingan ini –menurut saya- butuh kajian yang serius dan teliti. Sebab, sementara orang ada yang langsung saja menyatakan bahwa Sunan Abi Daud lebih unggul. Sikap seperti ini banyak diambil oleh para ulama terdahulu. Setiap orang yang membicarakan Sunan Abi Daud, pasti ia akan mengunggulkannya atas kitab-kitab lainnya bahkan sebagian mereka ada yang mengunggulkannya atas Shahih Muslim akan tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagian orang lagi, khususnya di zaman sekarang ini, kita menemukan ada orang yang berusaha mengunggulkan Sunan an-Nasa`iy atas Sunan Abi Daud. Menurut saya, bila ijtihad-ijtihad seperti ini keluar dari seseorang yang ingin agar ucapannya tepat, maka hendaknya berpijak pada ucapan yang ilmiah atau metode ilmiah yang komprehensif dengan cara melakukan penelitian terhadap Sunan Abi Dauddan Sunan an-Nasa`iyyang bernama al-Mujtaba itu, kemudian melihat jumlah hadits-hadits yang dimuat di masing-masing kitab tersebut, lalu jumlah hadits yang dikritisi dari masing-masingnya; berapa persentasenya secara keseluruhan untuk masing-masing kitab. Dari situ, akan kita dapatkan persentase hadits-hadits yang dikritisi di dalam kitab Sunan Abi Dauddan juga di dalam kitab Sunan an-Nasa`iy. Selain itu, hadits-hadits yang dikritisi ini juga bisa diklasifikasi lagi antara yang Dla’if, Dla’if Sekali dan Kemungkinan Dla’if masih fity-fifty. Masing-masingnya perlu dibubuhkan berapa persentasenya. Di samping itu, perlu juga dilihat; apakah pengarang kitab menjelaskan dan mengomentari hadits-hadits yang dikritisi tersebut atau kah tidak? Sebab, Abu Daud dan an-Nasa`iy ada mengomentari sebagian hadits. Kemudian, dilihat pula berapa persentase komentar yang dikeluarkan masing-masing pengarang kitab terhadap hadits-hadits yang dikritisi tersebut. Setelah itu, barulah kita dapat mengeluarkan gambaran yang jelas melalui penelitian yang seksama, apakah Sunan Abi Daudyang lebih bagus mengesankan atau kah sebaliknya? Inilah pendapat saya mengenai hal ini. TANYA Apa makna Thariiq’ Sanad? Dan apa pula makna matan? Tolong berikan contohnya. JAWAB Makna Thariiq Sanad adalah mata rantai jalur para periwayat yang menghubungkan matan. Sedangkan Matan adalah ucapan teks setelah sanad. Contohnya, hadits yang dikeluarkan al-Bukhary, Muslim dan Abu Daud lafaznya diambil dari Abu Daud; Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, ia berkata, Hammad menceritakan kepada kami, ia berkata, dari Ayyub, dari Nafi’ dari Ibn Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu larang para wanita hamba Allah untuk memasuki masjid-masjid Allah.” Mata rantai orang-orang yang meriwayatkan mulai dari Sulaiman hingga Ibn Umar dinamakan sanad/thariiq sedangkan ucapan Rasulllah SAW setelah itu dinamakan matan’.-red TANYA Berapa jumlah hadits di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Yang Dikritik Imam ad-Daaruquthni? JAWAB Secara global ada sekitar dua ratusan hadits. Terhadap Shahih al-Bukhari sebanyak 110 hadits, termasuk 32 hadits yang juga dikeluarkan oleh Imam Muslim. Dan terhadap Shahih Muslim sebanyak 95 hadits termasuk di dalamnya hadits yang dikeluarkan juga oleh Imam al-Bukhari. Silahkan lihat, mukaddimah kitab Fat-hul Bari karya al-Hafizh Ibn Hajar dan Risaalah Bayna al-Imaamain; Muslim Wa ad-Daaruquthni karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali serta Risaalah al-Ilzaamaat Wa at-Tatabbu’ karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy. TANYA Apakah Imam ad-Daaruquthni mengeritik seluruh aspek? JAWAB Kritikannya tidak meliputi semua aspek, sebagian yang dinyatakannya ada benarnya dan sebagian lagi keliru. Terkadang –bahkan seringkali- ia hanya mengeritik sisi sanad jalur transmisi hadits tanpa matan teks-nya. NB Sekalipun demikian, adanya kritik ini tidak mengurangi atau pun mempengaruhi kesepakatan umat Islam untuk menerima hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari dan Muslim dan penilaian bahwa keduanya adalah yang paling benar setelah al-Qur’an al-Karim-red. SUMBER As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-Adawy, TANYA Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim saja tanpa mau melirik kepada kitab-kitab sunnah yang lain? Apakah al-Bukhari dan Muslim mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja? JAWABTidak dapat disangkal lagi, bahwa pendapat itu jauh dari benar bahkan bisa terjerumus ke dalam kesesatan karena sama artinya dengan menolak sunnah Rasulullah SAW. Al-Bukhari dan Muslim tidak mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja. Seperti yang diinformasikan para ulama dari al-Bukhari, bahwa ia pernah berkata, “Aku hafal 100 ribu hadits shahih.” Para ulama itu juga menukil darinya yang mengatakan, “Tapi aku tinggalkan hadits-hadits lain yang shahih karena khawatir terlalu panjang bertele-tele.” Al-Bukhari sendiri telah menshahihkan sendiri hadits-hadits yang bukan shahih. Hal ini nampak secara jelas sekali dalam pertanyaan-pertanyaan at-Turmudzi kepadanya seperti yang terdapat di dalam Sunan at-Turmudzi. Para ulama juga menukil dari Muslim hal serupa di mana ia pernah mengatakan, “Bukan segala sesuatu yang menurutku shahih lalu aku muat di sini.” Jadi, tidak dapat diragukan lagi kebablasan orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain saja dan menolak kitab selain keduanya. SUMBER As’ilah Wa Ajwibah Fii Mustholah al-Hadiits karya Musthafa al-Adawi, TANYA Bagaimana kita mengenali seorang shahabat? JAWAB Kita mengenalinya melalui salah satu dari hal-hal berikut 1. Tawaatur Pemberitaan tentangnya secara mutawatir alias mustahil terjadi kebohongan karena banyaknya periwayat terpercaya menyatakan hal itu; apakah ada orang yang meragukan Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab RA sebagai shahabat? Jawabannya, tentu, tidak.! 2. Syuhrah Ketenaran dan banyaknya riwayat yang mengisahkannya melalui beberapa hal. Contohnya, Dhimaam bin Tsa’lbah RA yang tenar dengan hadits kedatangannya menemui Nabi SAW, Ukasyah bin Mihshan RA yang kisahnya dijadikan permisalan/pepatah yaitu ucapan Rasulullah SAW, “Sabaqoka Ukaasyah’ ; Ukasyah sudah terlebih dulu darimu-red.* 3. Dimuatnya hal itu dalam hadits yang shahih, seperti ada salah satu hadits menyebutkan bahwa Nabi SAW didatangi oleh si fulan bin fulan atau hadits tersebut bersambung sanadnya kepada seorang laki-laki yang menginformasikan bahwa si fulan termasuk orang-orang yang mati syahid dalam perang bersama Rasulullah SAW. Atau informasi apa saja dengan cara tertentu bahwa orang ini atau itu sudah terbukti Shuhbah-nya bertemu dan beriman dengan Rasulullah SAW dan mati dalam kondisi itu. 4. Penuturan tertulis dari seorang Tabi’i generasi setelah shahabat bahwa si fulan adalah seorang shahabat. Yaitu seperti ia mengucapkan, “Aku mendengar salah seorang shahabat Nabi SAW, yaitu si fulan bin fulan.” 5. Penuturan shahabat itu sendiri bahwa ia bertemu Nabi SAW, seperti perkataannya, “Aku mendengar Nabi SAW bersabda begini dan begitu.” Atau “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menemani bershahabat dengan Nabi SAW.” Tetapi hal ini perlu beberapa syarat, di antaranya ia seorang yang adil pada dirinya. Klaimnya tersebut memungkinkan; bila kejadian ia mengklaim hal itu sebelum tahun 110 H maka ini memungkinkan sedangkan bila ia mengklaimnya setelah tahun 110 H, maka klaimnya tersebut tertolak sebab Nabi SAW telah menginformasikan di akhir hayatnya, “Tidakkah aku melihat kalian pada malam ini? Sesungguhnya di atas 100 tahun kemudian dari malam ini, tidak ada lagi seorang pun yang tersisa di atas muka bumi ini.” I211, Muslim, Abu Daud, Ini merupakan argumentasi paling kuat terhadap orang yang mengklaim nabi Khidhir masih hidup hingga saat ini segaimana klaim kaum Sufi di mana salah satu dari mereka sering mengaku telah bertemu nabi Khidhir dan berbicara secara lisan dengannya.!? Intermezzo Seorang laki-laki India bernama Rotan pada abad VI mengaku bahwa dirinya adalah shahabat Nabi SAW dan dia telah dipanjangkan umurnya hingga tanggal tersebut. Kejadian itu sempat menggemparkan masyarakat kala itu. Maka, para ulama pada masanya atau pun setelahnya membantah pengakuannya tersebut. Di antaranya, al-Hafizh adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul “Kasr Watsan Rotan.” Pepatah tersebut diungkapkan orang Arab untuk menyatakan ketidak beruntungann seseorang dalam memperoleh sesuatu karena sudah ada orang lain yang lebih dahulu memperolehnya. Seperti misalnya, bila ada seseorang memberikan hadiah kepada seseorang yang bisa menjawab pertanyaannya, lalu ada yang menjawabnya sedangkan hadiah itu hanya untuk satu orang saja. Kemudian ada orang lain meminta diberi pertanyaan lagi agar dapat menjawabnya dan memperoleh hadiah. Maka orang yang memberikan itu tadi, mengatakan kepadanya pepatah tersebut. Artinya, terlambat, si fulan sudah terlebih dahulu kamu sudah keduluan sama si fulan.!!, wallahu a’lam-red SUMBER Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, 106-107
HaditsShahih memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. 1. Sumber ajaran Islam. Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur'an. Hadits sendiri dipilah mana yang shahih dan mana yang dha'if. Tujuan pemilahan ini adalah untuk mengetahui tingkat validitas hadits.
Pertanyaan Assalamu’alaikum, Ana mau tanya apa yang dimaksud dengan derajat hadits hasan shahih? Tolong antum jelaskan beserta sebab-sebab keluarnya istilah itu. Jazakumullah khair. Jawaban Alhamdulillah, wash sholatu was salaamu ala rasulillah. Amma ba’du Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjawab “Hadits yang diberikan dua penilaian sekaligus ini -yaitu hasan dan shahih- tidaklah lepas dari dua kemungkinan berikut ini Pertama, bisa jadi hadits tersebut termasuk hadits yang gharib yaitu seorang perawi hanya menyendiri dalam meriwayatkan hadits itu atau Kedua, haditsnya tidak demikian menyendiri. Kalau dipilih kemungkinan yang pertama maka sebab penggabungan kedua penilaian ini merupakan keraguan ulama penilai hadits tersebut terhadap perawi yang menyendiri, apakah dia termasuk orang yang dhabith bisa menjaga hadits, hafal sehingga haditsnya dinilai shahih ataukah dia itu khafifu dhabth lemah hafalannya sehingga haditsnya dinilai hasan. Berdasarkan alasan tersebut, maka ungkapan tersebut yakni hasan shahih bisa ditafsirkan dengan makna “hasan atau shahih” dan kedudukannya berada di bawah tingkatan hadits yang diberi predikat shahih secara tegas. Dan apabila ditafsirkan dengan kemungkinan kedua yaitu perawinya tidak menyendiri dalam meriwayatkan hadits itu maka penggabungan itu berdasarkan kondisi dua buah sanad alur periwayatan. Sanad yang berderajat shahih sedangkan yang kedua lagi berderajat hasan, sehingga dua penilaian itu pun diberikan kepadanya berdasarkan pertimbangan kondisi kedua buah sanadnya, dan hal itu membuat statusnya lebih kuat daripada hadits yang hanya diberikan predikat shahih.” Al Hafizh Ibnu Daqiqil Ied berkata, “Tidak ada pertentangan makna antara penilaian hasan dan shahih secara bersamaan kecuali apabila ternyata hadits tersebut hanya mencapai predikat hasan, adapun apabila suatu hadits mencapai derajat shahih maka predikat hasan itu pun telah tercapai dan tidaklah mustahil hal itu terjadi mengikuti predikat shahih, sebab keberadaan derajat hadits yang lebih tinggi tidak otomatis menafikan derajat yang lebih rendah, maka dengan begitu sah-sah saja jika dikatakan “hasan” ditinjau dari sisi sifatnya yang lebih rendah dan shahih’ bila ditinjau dari sisi sifatnya yang lebih tinggi.” Dialih bahasakan dari Min Athyabil Minah fi Ilmil Mushthalah hal. 17-18, karya Syaikh Abdul Karim Muraad dan Syaikh Abdul Muhsin Al Abbaad hafizhahumallah. *** Penanya Rizky Krisnaldi Dijawab oleh Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi Sumber 🔍 Syarat Qodho Sholat, Beda Masya Allah Dan Subhanallah, Bulan Bintang Masjid, Hukum Kredit Motor Dalam Islam, Pembagian Ilmu Tauhid, Hukum Melaksanakan Salat Idul Fitri Adalah KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28
I6ck3. 87 264 244 19 188 46 244 220 302

pertanyaan sulit tentang hadits shahih